KTSP dan Permasalahannya
DALAM sebuah seminar tentang model pembelajaran inovatif beberapa waktu lalu (16/11/2006), Dr C Asri Budiningsih, pakar pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, berkata bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (disingkat KTSP) memiliki lima tujuan. Salah satunya ialah bahwa pemberian informasi dan penghargaan semakin transparan, khususnya dalam lingkup interaksi guru-siswa di ruang kelas.
Jika dicermati, sebetulnya tujuan disusunnya KTSP sangat tepat. Betapa tidak, kurikulum yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) itu kelak menuntut pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan teori dan konsep pengetahuan, tetapi juga penguasaan kemampuan praktik. Ini sejalan dengan pemikiran Marzano (1985) tentang lima dimensi belajar. Bahwa, pengetahuan akan bermakna jika diaplikasikan secara nyata/praktik.
Me Menurut Harsono (2000) Tolak ukur yang sesuai untuk mengukur keberhasilan KTSP sangat berkaitan erat dengan kinerja guru yang harus memahami dan menerapkan tujuan KTSP serta mampu menghadapi hambatan-hambatan yang ada di sekolah. Untuk memahami KTSP guru bisa mendapatkan pada UU yang mengatur tentang KTSP, melalui workshop, seminar dan melalui buku-buku tentang KTSP. Sedangkan untuk mencapai tujuan KTSP perlu manajemen yang mencakup proses pembelajaran dimana terdapat dua hal penting yaitu perencanaan dan proses pembelajaran itu sendiri.
Dalam konteks mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, siswa tak cukup hanya diberikan teori atau pengetahuan tentang jenis-jenis karangan. Mereka toh bisa membaca beberapa literatur, seperti Deskripsi dan Argumentasi-nya Gorys Keraf. Justru yang mereka butuhkan ialah agar guru meminta mereka menulis karangan, apa pun jenisnya, dan kemudian dipresentasikan di depan kelas secara individu atau kelompok.
Contoh lainnya, ketika guru hendak bercerita tentang bacaan fiksi anak-anak, tak perlu siswa dikenalkan wacana sastra anak yang berat-berat. Cukup guru tersebut mengambil intisari dari literatur, seperti Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak-nya Burhan Nurgiyantoro, atau Children Literature-nya Peter Hunt (ed). Dengan begitu, siswa akan merasa enjoy dalam mengikuti penyampaian materi dari guru tersebut.
Setelah itu, barulah guru mulai membawakan contoh bacaan fiksi anak-anak yang ada. Misalnya, komik, biografi tokoh/pahlawan, cerita anak, dongeng, mitos, dsb. Dengan begitu, kelak suasana belajar di kelas akan menjadi semarak dan aktif. Pasalnya, guru dituntut untuk mencari informasi melalui berbagai sumber, seperti majalah, buku, bahkan Internet. Dengan kata lain, guru tidak cukup membawa buku pegangan dan Lembar Kerja Siswa (LKS) saja.
Di simpul ini, kita simpulkan bahwa penerapan KTSP di sekolah-sekolah kelak membuat pembelajaran di kelas kian bermutu. Namun, pada kenyataannya, pelaksanaan KTSP menemui kendala yang cukup serius. Yaitu, minimnya sarana dan prasarana pendidikan, meliputi laboratorium bahasa, tape dan kaset untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, khususnya terkait dengan kemampuan berbahasa menyimak (listening).
Demikian pula tiga kemampuan berbahasa lainnya, yakni membaca (reading), menulis (writing), dan berbicara (speaking). Untuk aplikasi kemampuan membaca, siswa diberikan tugas membaca buku atau referensi sebanyak-banyaknya. Tak hanya buku-buku di perpustakaan, tetapi juga majalah, jurnal, tabloid, radio, TV, bahkan Internet. Semakin variatif sumber bacaan, semakin tertarik pula siswa untuk membacanya.
Sekadar contoh, semasa kuliah penulis pernah praktik mengajar di sebuah sekolah swasta terkemuka di Yogyakarta. Waktu itu, penulis diminta guru pembimbing untuk memberi materi ajar puisi. Tanpa pusing-pusing, penulis pun membawa beberapa puisi Afrizal Malna yang dimuat di harian Kompas. Padahal, dalam buku pegangan Bahasa Indonesia yang dibawa penulis telah ada contoh puisi karya sastrawan lainnya.
Alasan penulis sederhana: karena bahan ajar, dalam mata pelajaran apa pun jenisnya, harus bersifat aktual dan bisa dimengerti oleh siswa-siswa. Selama ini siswa mungkin bosan karena bahan ajar yang diberikan guru terbilang ketinggalan zaman. Misalnya, ketika belajar tentang puisi mengapa harus karya Chairil Anwar melulu. Padahal, banyak karya sastra (khususnya puisi) yang unik dan baru dan banyak bermunculan hingga sekarang.
Atau, bahkan bisa diusulkan, agar dalam implementasi KTSP nantinya dibuka peluang untuk mengembangkan khas keunggulan lokal. Siswa-siswa di DI Yogyakarta akan cepat mengerti ketika diajak berbicara tentang renovasi Tamansari karena letaknya sangat dekat dan terjangkau. Contoh lainnya, penggunaan permainan tradisional untuk mata pelajaran Sains dan Matematika kelak membuat siswa tertarik.
Pendek kata, implementasi KTSP seharusnya bisa mengubah kultur sekolah, dari “sekolah yang memenjara” menjadi “sekolah yang menyenangkan.” Perubahan tersebut tentunya perlu didukung semua pihak, terutama guru dan orang tua. Bagaimana pun, pembelajaran akan menjadi berkualitas jika ditunjang tiga faktor: guru, infratruktur pendidikan, dan iklim pendukung belajar. Tak hanya cukup “utak-atik” kurikulum setiap ganti menteri.